Tuan Pembual, Wakil Kami!


Oleh: Arhas Peudada

Sudahilah! Untuk malam ini, simpan saja ceramah janji-janjimu itu di bawah bantal tidurku. Aku mulai menguap, batuk dan terkantuk-kantuk mendengarnya. Seawal pagi besok akan kuhafal ianya lagi. Hingga meracau. Dan berbuih-buih mulutku. Sambil mencicipi manisan yang kau tempel di punggungku.

Please deh! Untuk malam ini saja. Tolong jangan hadir di nyenyaknya mimpiku. Hanya di alam sana saja aku hidup terhibur. Terasing dari kung-kung kubangan qanun. Buatan tangan berlumpurmu.

Aku tak mahu esok hari sepi. Dari alunan serapah bual pagi. Pencuci mulut kami di kedai kopi. Langganan ngutang kita.

Sssttt… Bukankah khutbah jemaji karetmu itu adalah goyangan mulut keramat. Yang akan kau ulang berterusan. Di bukit podium sorak. Di tengah khalayak. Sebagai pengganti pembayaran hutang. Sepetak tanah ‘keuneubah éndatu’. Dan sepetuah nazar. Yang dulu kau ikrar sumpahkan. Berputik bunga. Dan tiap hari kian beranak-pinak. Dan tak pernah lunas itu?

Wahai, Tuan pembual. Mulut kami tak pernah lelah menguyah nasi basi. Buangan dari negeri seberang. Barisi saja kami berjama’ah! Kekang bedilmu! Bantai saja kami! Demi tampuk dan tumpuk yang kau rebut.

Tolong, panjangkan saja lapar petani kami! Permainkan saja tarif gabah! Olahlah! Pada hal sawah mereka setali, sebujur mata. Dan tolong permainkan saja harga ikan nelayan kami! Beli dan jual sesukamu. Duaributujuhbelas ini kami siap memilihmu lagi. Untuk memimpin kami. Ke labuh harap. Menaiki perahu bocor dan oleng. Ke negeri makmur. Baldatun kufur.

Sumber: acehtrend.co

Tidak ada komentar